Trip Pulau Pari

Never to go on trips with anyone you do not love.” Ernest Hemingway, A Moveable Feast.


Mungkin kutipan di atas merupakan hal yang paling menggambarkan, mengapa saya memutuskan pergi ke Pulau Pari akhir bulan September 2013 lalu. Karena saya dan pacar saya, Muhammad Khairil namanya adalah dua kepribadian yang sangat berbeda jauh. Saya penyuka traveling backpacker dan dia orang yang tidak mau repot, cenderung menjauhi traveling yang menantang, misalnya snorkling, hiking, dan lain-lain.

Saya berlibur bersama pacar dan sahabat saya, Hanum dan Juned. Yang membuat saya senang dalam perjalanan kali ini saya bertemu dengan orang baru dan pengalaman baru secara pribadi. Sahabat baru yang saya kenal dan hingga kini masih berkontak, yaitu Ipin, Kiki, Dewi, Teh Yosie, Teh Waty, dan Nunu. Awalnya perjalanan kami dimulai pukul 05.00 pagi sebagai titik poin berkumpul di pombensin Muara Angke, Jakarta Utara.

Saat itu yang tiba duluan adalah saya dengan pacar. Teman-teman masih berada di perjalanan. Setelah semua tim lengkap, kami pun berangkat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal feri tradisional dari Muara Angke untuk menyebrang ke Pulau Pari. Terlintas dalam pikiran saya di perjalanan di kapal, bagaimana latar belakang dan sejarah adanya Pulau Pari itu sendiri.

Sejenak Bersantai di Pantai Pasir Perawan 

Seperti yang kita ketahui Pulau Pari adalah salah satu gugusan Kepulauan Seribu yang terletak di Utara Jakarta. Pada awalnya Pulau Pari adalah sebuah pulau pulau kosong yang tidak berpenghuni dan belum memiliki nama.  Pada tahun 1900-an konon diberikan nama. Pada masa penjajahan Belanda di kawasan Tangerang Banten dan warga Tangerang tersebut melarikan diri ke Pulau Pari untuk menghindari kerja paksa oleh Belanda. Kabarnya dinamakan Pulau Pari ini sebab dahulu di wilayah laut dangkal di Pulau Pari banyak sekali ikan pari. Kerena itu, disebutlah Pulau Pari.

Kembali ke cerita perjalanan saya kali ini. Setelah menempuh kurang lebih 2 jam perjalanan. Kami tiba di Pulau Pari. Kami segera menuju homestay. Masing-masing dengan mengayuh sepeda. Sambil mengayuh sepeda, mata saya melihat kanan dan kiri. Rumah penduduk lokal setempat berjejer. Rumah-rumah mereka banyak yang dijadikan homestay. Inilah mata pencaharian mereka. Selain sebagai nelayan mereka juga berperan dalam industri pariwisata.  Namun, sayangnya hasilnya mereka bagi dengan pemilik swasta bukan masuk ke kantong negeri ini.

Berteduh di Pantai Pasir Perawan


Ya. Penduduk lokal Pulau Pari tidak memiliki sumber daya alamnya sendiri. Ada penduduk yang mengatakan bahwa sebagian dari Pulau Pari dimiliki oleh swasta. Ada kabar pula bahwa Kepulauan Seribu hampir 80 persennya sudah dimiliki swasta. Sungguh miris bahwa kenyataannya rakyat tidak memiliki tanahnya sendiri. Namun, apa boleh buat mereka butuh menghidupi kehidupannya. Banyak dari mereka pun bekerja dengan pihak swasta itu untuk menafkahi keluarganya.

Lingkungan sekitar Pulau Pari, dalam observasi saya cukup tertata rapi dan cukup bersih. Walaupun demikian, sayangnya lingkungan lautnya masih banyak ditemui sampah-sampah menggenang berserakan. Hal ini, patut diwaspadai karena jika lingkungan airnya tidak bersih, bagaimana penduduk mendapatkan sumber airnya yang bersih. Namun,  air bersih dan Mandi, Cuci, Kakus (MCK) tampak terawat dengan baik di lingkungan Pulau Pari. Tidak sulit menemukan kamar mandi di sana. Maklum karena saya pribadi merupakan orang yang sangat-sangat butuh kamar mandi disaat-saat panggilan alam datang.

Obyek wisata di sana yang kami singgahi adalah Pantai Pasir Perawan. Pantainya sangat tenang. Sangat nyaman sekali untuk menikmati udara pantai tapi tidak di siang hari karena panas terik cukup membakar kulit. Udara pantai bisa dinikmati di waktu pagi dan sore. Selain, wisata panorama di sana juga terdapat wahana rekreasi lainnya. Antara lain Banana Boat, Sofa Boat, Cano, Camping Stay, Bersepeda, hingga Snorkling

Di Kapal Sebelum Snorkling 
Waktu itu saya mencoba Snorkling dan Sofa Boat. Penyelaman dangkal dilakukan tidak jauh dari Pulau Pari. Selama kurang lebih 2 jam kami bersenang-senang di dalam air. Dengan alat snorkling lengkap kami berenang-renang bersama ikan-ikan kecil. Setelah semua lelah. Kami kembali ke kapal melanjutkan perjalanan ke Pulau Tikus. Sebuah kepulauan kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Seribu. Di kapal menuju Pulau Tikus saya sempat jackpot. Isi perut makan siang keluar semua. Mungkin karena angin yang kadaluarsa menumpuk di badan saya. Tapi setelah itu badan saya terasa ringan. Perjalanan pun berlanjut.



Pulau Tikus merupakan pulau persinggahan untuk beristirahat wisatawan yang sudah puas ber-snorkling. Hanya saja, kondisi pulau tersebut lebih parah dari pada Pantai Pasir Perawan. Sejauh mata memandang banyak sampah-sampah menumpuk. Ada botol-botol mineral, kaleng minuman, plastik bungkus makanan, dan lain-lain. Hati saya bertambah sedih, saat perjalanan pulang tampak pula kumpulan sampah-sampah menggenang di lautan Kepulauan Seribu.



Alangkah indahnya jika para wisatawan peduli terhadap lingkungan, terutama di air, karena habitat dan ekosistem tetap akan terjaga. Ini membutuhkan kesadaran bagi kita semua. Agar alam yang ramah tidak berubah jadi bencana untuk kita. Biarkan alam tetap ramah menyapa kehidupan kita dan anak cucu nanti.


 Because we don’t think about future generations, they will never forget us.” – Henrik Tikkanen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar