Museum MACAN: Edukasi, Seni, dan Kelembutan Masyarakat Urban

"Go into the arts. I'm not kidding. The arts are not a way to make a living. They are a very human way of making life more bearable. Practicing an art, no matter how well or badly, is a way to make your soul grow, for heaven's sake. Sing in the shower. Dance to the radio. Tell stories. Write a poem to a friend, even a lousy poem. Do it as well as you possibly can. You will get an enormous reward. You will have created something." -Kurt Vonnegut-

Semua foto oleh Muhammad Khairil 

Panjang ya kutipannya. Tapi entah kenapa saya suka sekali. Kutipan panjang ini dari seorang novelis Amerika bernama Kurt Vonnegut (11 November 1922 - 11 April 2007). Ia telah melahirkan karya sebanyak 14 novel. Salah satu novelnya yang paling laris di pasaran adalah Slaughterhouse Five (1969). Kembali kepada kutipannya. Saya suka sekali karena saya juga merasakan hal sama. Karena saya akhir-akhir ini sedang merenung apa yang sebenarnya ada dalam darah dan jiwa saya. Apa yang saya suka dan ingin terus melakukannya lagi. Jawabannya satu yang berhubungan dengan seni, yaitu menggambar. Yang ternyata saya sudah punya bakat itu sejak duduk di bangku TK. Setelah lebih dari sepuluh tahun saya meninggalkan hobi menggambar saya. Bakat itu mungkin juga dari Ibu saya yang seorang Guru Seni Budaya.


Seni menurut saya tidak hanya menenangkan dan mengasyikan. Tapi seni juga rasa. Rasa kepekaan, empati, kelembutan, cinta, benci, rindu, dendam, apa pun itu yang tercurahkan dari hati seorang seniman. Namun, dari semua rasa itu, seni pada dasarnya mengasah hati untuk menjadi lembut. Seni itu lembut. Inilah yang ingin saya ajarkan kepada anak saya Nura dengan memperkenalkan seni.


Pada tanggal 03 Februari 2018 lalu, saya mengajak Nura dan suami untuk berkunjung dan menikmati karya seni di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau yang terkenal disebut Museum MACAN. Lokasinya dekat dengan rumah mertua di Jalan Panjang No. 5 Kebon Jeruk Jakarta Barat. Museum ini buka dari hari selasa-Minggu pukul 10.00-19.00 WIB. Di hari senin dan minggu tutup. Museum ini tercatat sebagai museum pertama sebagai institusi pertama yang memberikan akses publik terhadapa koleksi seni modern dan kotemporer Indonesia serta Internasional.



Museum MACAN berada di Gedung Wisma AKR. Waktu itu kami parkir di dalam lalu naik lift turun satu kali menuju gedungnya yang berada di belakang. Untuk masuk ke dalam barang-barang bawaan harus dititipkan ke tempat penitipan barang. Kami memberi tiket untuk dua orang. Per orang dikenakan 50 ribu rupiah. Untuk lansia dan pelajar 40 ribu rupiah dan anak-anak sekolah 30 puluh ribu. Nura tidak kena karena di bawah tiga tahu. Kala itu Nura baru pertama kali ke museum koleksi seni. Nura awalnya takut karena melihat lukisan besar yang terpajang di pintu masuk. Sebuah lukisan surealis bergambar wajah yang tak karuan.




Museum ini menampilkan sekitar 90 karya seni rupa modern Indonesia dan juga kontemporer dari seluruh dunia. Koleksi terdiri dari empat babak. Kami masuk ke dalam babak pertama yaitu Land, Home, People. Karya-karya babak ini dari pelukis Indonesia dan luar negeri seperti Raden Saleh dan Miguel Covarrubias. Babak kedua yaitu Independence and After karya pelukis Indonesia Dullah dan S. Sudjojono. Babak ketiga yaitu Struggles Around Form and Content karya pelukis Arahmaiani, Mark Rothko, dan Srihadi Soedarsono. Babak Keempat yaitu Global Soup karya pelukis FX Harsono, Wang Guangyi, dan James Rosenquist.


90 karya seni itu adalah koleksi yang dikumpulkan oleh kolektor seni sekaligus pengusaha Indonesia bernama Haryanto Adiekoesoemo. Ia juga penggagas Museum MACAN. Salah satu karya seni yang menjadi favorit pengunjung adalah Infinity Mirrored Room karya seniman Jepang Yayoi Kusuma. Selain itu, seni yang ditampilkan di museum ini tidak melulu lukisan tetapi juga ada karya seni instalasi dengan medium dan teknik tertentu oleh senimannya masing-masing.


Lima belas menit berada di museum ini Nura lama-lama makin betah. Karena ia banyak bertemu teman-teman sebayanya balita, anak-anak TK dan sekolah dasar. Nura senang dan sering berlari ke sana kemari. Ia juga mulai menikmati karya seni lukis yang bergambar anak kecil atau kartun. Karya seni instalasi yang menjadi favoritnya adalah dua patung kartun dengan wajah lucu menyeringai berwarna hitam dan putih. Selain itu babi-babi yang sedang menyusu ke induknya dengan kulit bendera Amerika juga menjadi favorit Nura.






Museum ini tak hanya menjadi sarana edukasi penikmat seni dan seniman muda, tetapi juga edukasi untuk anak-anak balita dan sekolah. Walau ada juga yang hanya untuk foto-foto saja. Tidak peduli dengan karya seninya, yang penting eksisnya. Apa pun itu yang terpenting keberadaan museum ini membawa dampak baik dan positif. Keluarga kami juga senang dan menikmati.

Seorang teman pernah mengatakan saat saya ingin datang ke sini. Museum menjadi sarana hiburan masyarakat urban. Keberadaan museum ini menurut saya juga bisa melembutkan masyarakat Jakarta dan sekitarnya setelah hidup dengan kerasnya kota. Keluar dari koleksi lukisan dan instalasi, kami tidak sempat masuk ke Infinity Mirrored Room karena antreannya yang sangat panjang. Nura keburu kelaperan. Jadi kami langsung pulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar